Pengertian Muradhif, Musytarak, Penerapan Kaidah Musytarak dan Contoh Musytarak
A. Muradif.
1. Pengertian Muradhif.
Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
اللَّيْثُ, الاَسَدُ :singa
الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
الهرّ, القط : kucing
2. Kaidah Muradhif.
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir shalat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak.
1. Pengertian Musytarak.
Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara lain:
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadh عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kekuasaan kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
2. Kaidah Musytarak.
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 26,
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.” (QS Al Hajj : 26)
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT., dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 18
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS. Al-Haj : 18)
Lafadh سْجُد itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.
3. Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak.
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadh الصلاةyang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.
4. Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak.
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
5. Contoh Lafadh Musytarak.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 222,
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Lafadh المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al Baqarah : 228)
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 229,
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadhالصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Ahzab ayat 56,
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Lafadh الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
1. Pengertian Muradhif.
Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
اللَّيْثُ, الاَسَدُ :singa
الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
الهرّ, القط : kucing
2. Kaidah Muradhif.
إِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ الْمُرَادِفَيْنِ مَكَانَ اْلآخَرِ يَجُوْزُ إِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir shalat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak.
1. Pengertian Musytarak.
Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara lain:
اللَّفْظُ الوَاحِدُ الدَّالُّ عَلَى مَعْنَيَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ دَلاَلَةً عَلَى السَّوَاءِ عِنْدَ أَهْلِ تِلْكَ اللُّغَةِ
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadh عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kekuasaan kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
2. Kaidah Musytarak.
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 26,
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.” (QS Al Hajj : 26)
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT., dalam Al-Qur'an Surat Al Hajj ayat 18
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS. Al-Haj : 18)
Lafadh سْجُد itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.
3. Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak.
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadh الصلاةyang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.
4. Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak.
a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
5. Contoh Lafadh Musytarak.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 222,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Lafadh المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al Baqarah : 228)
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 229,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadhالصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surat Al Ahzab ayat 56,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Lafadh الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian muradhif, musytarak, penerapan kaidah musytarak dan contoh musytarak. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Alamat link terkait :Pengertian Muradhif, Musytarak, Penerapan Kaidah Musytarak dan Contoh Musytarak
0 Response to "Pengertian Muradhif, Musytarak, Penerapan Kaidah Musytarak dan Contoh Musytarak"
Posting Komentar