Pengertian Bank Syariah dan Dasar Hukum Perbankan Syariah
A. Definisi Bank Syariah
Bank berasal dari bahasa Perancis dari kata bangue dan bahasa Italia dari kata banco yang artinya adalah peti, bangku atau lemari. Lemari atau peti merupakan simbol untuk menjelaskan fungsi dasar dari bank umum yaitu:
(1) tempat yang aman untuk menitipkan uang (safe keeping function);
(2) penyedia alat pembayaran untuk pembelian barang maupun jasa (transaction function).
Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, disebutkan bahwa bank adalah lembaga atau badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, kredit dan atau bentuk-bentuk yang lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Adapun menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, definisi bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, yang terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Rakyat Syariah.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berbasis syariah Islam. Dalam skala yang luas, bank syariah merupakan lembaga keuangan yang memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan iklim investasi bagi masyarakat. Bank syariah mendorong masyarakat untuk berinvestasi dengan memanfaatkan produk-produk yang dikeluarkan oleh mereka, di samping itu, bank syariah juga aktif dalam mengembangkan investasi di masyarakat.
B. Dasar Hukum Perbankan Syariah
Regulasi tentang perbankan syariah di Indonesia diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
UU Nomor 7 Tahun 1992 lebih banyak mengatur tentang perbankan konvensional, sehingga tidak terlalu banyak pasal yang mengatur tentang perbankan syariah. Salah poin dari UU ini, yaitu pada pasal 1 butir (12) hanya menyebutkan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil (profit sharing) tetapi belum menyebutkan secara eksplisit tentang istilah bank syariah.
Sesuai dengan perkembangannya, kemudian pada tahun 1998 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini diamandemen dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU sebelumnya, pada UU Nomor 10 Tahun 1998 ini mengatur secara jelas bahwa baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah perjanjian yang dilandaskan pada hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan dalam bentuk kegiatan usaha atau transaksi lainnya yang dinyatakan sesuai syariah. Kegiatan usaha atau transaksi lain tersebut antara lain adalah:
a) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah)
b) Pembiayaan dengan prinsip penyertaan modal (musyarakah)
c) Prinsip jual beli barang untuk memperoleh keuntungan (murabahah)
d) Pembiayaan barang modal dengan sewa murni (ijarah)
e) Pemindahan hak milik barang yang disewa dari pihak bank kepada pihak lain (ijarah wa iqtina)
UU Nomor 10 Tahun 1998 ini yang kemudian menjadi landasan hukum operasional perbankan syariah, sehingga keberadaannya semakin kuat, dan jumlah bank syariah pun meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Selanjutnya pada tahun 2008 terbitlah UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terdiri dari 13 bab dengan 70 pasal yang mengatur tambahan beberapa prinsip baru antara lain tentang:
(1) tata kelola (corporate governance);
(2) prinsip kehati-hatian (prudential principles);
(3) manajemen risiko (risk management);
(4) penyelesaian sengketa;
(5) otoritas fatwa;
(6) komite perbankan syariah; dan
(7) pembinaan dan pengawasan bank syariah.
Alamat link terkait :Pengertian Bank Syariah dan Dasar Hukum Perbankan Syariah
0 Response to "Pengertian Bank Syariah dan Dasar Hukum Perbankan Syariah"
Posting Komentar