Dasar-Dasar Muamalah
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat (Basyir, 2000:11). Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam konteks inilah terjadi pergaulan antara manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan individu, maupun sosial. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang-orang lain disebut muamalat(Basyir, 2000:11). Lebih rinci, Syamsul Anwar menjelaskan bahwa muamalat secara harfiah berarti pergaulan atau hubungan satu orang dengan orang lain. Dalam pengertian umum, muamalat diartikan sebagai aktivitas di luar ibadah (Basyir, 2000:11).
Dalam pergaulan hidup ini, setiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbullah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang harus selalu diperhatikan orang lain dan dalam waktu yang sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. Hubungan hak dan kewajiban itu diatur dengan kaidah-kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antara berbagai kepentingan. Kaidah hukum yang demikian inilah yang disebut dengan hukum muamalat (Basyir, 2000:11).
Dengan kata lain muamalat merupakan suatu hubungan timbal balik antara manusia dengan sesamanya, terutama dalam memenuhi tujuan hidup manusia yaitu untuk memperoleh falah. Falah berarti kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Falah ini dapat terealiasasi apabila terpenuhinya mashlahah, maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material, maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Mashlahah dasar bagi kehidupan manusia terdiri dari lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘aql), keluarga dan keturunan (nasl), dan material (wealth) (P3EI UII, 2004:5-6).
Kesejahteraan merupakan tujuan hidup manusia, baik itu kesejahteraan yang bersifat duniawi atau ukhrawi yang jelas Islam telah memberikan konsep dan pedoman hidup bagi manusia termasuk dalam muamalat untuk merealisasikan lima hal diatas yang menunjang terwujudnya mashlahah dan tujuan akhirnya adalah falah.
Syariah adalah hukum-hukum dan tata aturan Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya (Wawan Junaedi, 2008:2). Adapun Mahmud S (1986:6) berpendapat bahwa syariah adalah Aturan yang disyariatkan oleh Allah atau dasar peraturan yang di syari’atkan oleh Allah agar manusia mengambil dengannya di dalam berhubungan dengan Tuhannya, berhubungan dengan sesama muslim, berhubungan dengan sesama manusia, berhubungan dengan keadaan dan juga kehidupan.
Prinsip muamalat yang dinamis dapat menjadi jalan bagi terbukanya ijtihad untuk membahas berbagai permasalahan ekonomi syariah kontemporer, baik itu berupa kajian akad-akad di perbankan syariah maupun industri keuangan syariah non bank. Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha keuangan syariah dapat digolongkan ke dalam dua transaksi yaitu: untuk mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan (tabarru’) (Askarya, 2006:37). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (natural certainty contracts/NCC), yaitu kontrak dengan prinsip non bagi hasil (jual-beli dan sewa), dan transaksi yang mengandung ketidakpastian (natural uncertainty contracts/NUC), yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Transaksi NCC berlandaskan pada teori pertukaran, sedangkan NUC berlandaskan pada teori percampuran. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam pembiayaan dan pendanaan, sedangkan transaksi tidak untuk mencari keuntungan tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial (Adiwarman Karim, 2004:72). Gadai termasuk ke dalam akad tabarru’ atau tidak untuk mencari keuntungan.
Menurut beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa syariah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek hubungan manusia dengan Allah Swt. Manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta. Syari’ah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba yang harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah Swt. ketaatan dan ketundukan tersebut ditunjukkan dengan cara melaksanakan ibadah yang tata caranya telah diatur sedemikian rupa dalam aturan yang disebut dengan syari’ah. Syari’ah juga mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang shaleh dan mencerminkan sosok pribadi yang sempurna. Dengan kata lain, syari’ah meliputi hukum-hukum ibadah, hukum keluarga (akhwalus syakhsiyah), hukum waris, hukum talak, hukum pidana (jinayah) dan hukum-hukum bermu’amalah.
Menurut Abu Zahroh (1994: 543), tujuan dari syari’ah atau maqashid syariah adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik itu yang bersifat daruriyah(primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Kebutuhan yang bersifat daruriyah antara lain: muhafadzah ‘ala ad-din(memeliha agama), muhafazhah ‘ala nafs (memelihara jiwa), muhafadzhah ‘ala ‘aqli (memelihara akal), muhafazhah ‘ala al-mal (memelihara harta), dan muhafazhah ‘ala nasl (memelihara keturunan). Bermu’amalat yang sesuai dengan syariah adalah cara manusia untuk mewujudkan muhafazhah ‘ala al-mal (memelihara harta dari hal-hal yang haram) dan tujuan mencapai falah akan terwujud jika kemaslahatan sudah terpenuhi.
Dalam bermu’amalat sebenarnya manusia diberikan kebebasan oleh Allah dan Rasulullah Saw untuk berusaha sekeras mungkin untuk mencapai kesuksesan selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits:
“Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata, “Aku bersama Rasulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rasulullah bertanya, “Apa yang mereka lakukan?” Orang-orang sekitar pun menjawab “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan.” Rasulullah bersabda, “Aku menduga, andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”, lalu mereka membiarkannya, dan hasil kurmanya berkurang. Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rasulullah pun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang ku buat, namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Allah, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang datang dari Allah (dalam riwayat lain Rasulullah bersabda “Kalian lebih tahu urusan duniamu.”(Riwayat Muslim).
Menurut Ahmad Amin (1997), jumlah ayat mengenai kemasyarakatan atau muamalah hanya kira-kira 200 ayat. Jumlah ini jika dihitung dari keseluruhan jumlah ayat dalam Al-Qur’an, hanya sepertigapuluhnya. Jumlah ini memang ada hikmahnya. Karena masyarakat bersifat dinamis. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Peraturan dan hukum mempunyai efek yang mengikat. Kalau peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat berjumlah banyak dan rinci, dinamika masyarakat yang diatur sistem peraturan dan hukum yang absolut demikian akan menjadi terikat. Dengan kata lain, masyarakat menjadi terhambat (Muhammad: 2003:46).
Dinamika masyarakat menghendaki agar ayat-ayat yang mengatur masyarakat jumahnya sedikit. Disinilah terletak hikmahnya ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan soal-soal hidup kemasyarakatan manusia. Soal hidup kemasyarakatan manusia lebih banyak diserahkan Allah kepada akal manusia untuk mengaturnya, yang diberikan Allah dalam al-Qur;an hanyalah dasar-dasar atau patokan-patokan, dan di atas dasar-dasar dan patokan-patokan inilah ummat Islam mengatur hidup kemasyarakatan. Dari sinilah nantinya akan banyak timbul sistem-sistem mengatur kehidupan umat manusia.
Dalam pergaulan hidup ini, setiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbullah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib selalu diperhatikan orang lain dan dalam waktu yang sama juga memikul kewajiban itu diatur dengan kaidah-kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antara berbagai kepentingan. Kaidah hukum yang demikian inilah yang disebut dengan hukum muamalat (Anwar, 2000:1). Sebagai istilah khusus dalam hukum Islam, fiqh muamalat adalah bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Muamalat adalah hukum perdata, tetapi hanya terbatas pada hukum benda dan hukum perikatan (Anwar, 2000:1).
Sehubungan dengan itu, Basyir (2000:11) menjelaskan hukum muamalat dibicarakan pengertian benda dan macam-macamnya, hubungan manusia dengan benda, dan macam-macamnya, hubungan manusia dengan benda yang menyangkut hak milik, pencabutan hak milik perikatan-perikatan tertentu, seperti jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan sebagainya (Basyir, 2000:11)
Berkaitan dengan penjelasan Basyir tersebut, Anwar (2000:2) merinci ruang lingkup muamalat, sebagai berikut:
“Fiqh muamalat sebagai hukum perdata Islam lebih sempit ruang lingkupnya daripada hukum perdata dalam istilah ilmu hukum pada umumnya. ... Fiqh muamalat (hukum perdata Islam hanya meliputi hukum benda (nazariyyatul-amwal wal-milkiyyah) dan hukum perikatan (nazariyyatul-iltizam)”.
Lebih jauh Anwar (2000:2-3) menjelaskan pembagian objek kajian fiqh muamalat sebagai berikut:
Hukum benda. Dalam hukum benda dipelajari (1) pengertian benda (al-mal), dan macam-macamnya; (2) hak dan pendukungnya, yang meliputi konsep hak dan kewajiban, macam-macam hak milik dan sumber-sumber pemilikan (cara-cara memperoleh hak milik).
Hukum Perikatan. Dalam bidang ini dikaji teori umum hukum Islam mengenai perikatan yang meliputi konsep perikatan, macam-macam perikatan, dan sumber-sumber perikatan. Sumber perikatan paling penting dalam hukum Islam adalah perjanjian (akad). Oleh karena itu, pembicaraan tentang perjanjian dipisahkan dan dijadikan bagian tersendiri.
Hukum Perjanjian. Pembicaraanya meliputi:
1. Asas-asas umum perjanjian
Dalam asas-asas umum perjanjian dikaji:
a. Konsep, macam-macam, dan asas-asas perjanjian;
b. Terbentuknya perjanjian, yang meliputi rukun, dan syarat perjanjian dan sah batalnya perjanjian (akad);
c. Berakhirnya perjanjian.
2. Aneka perjanjian-perjanjian khusus
Dalam aneka perjanjian khusus dikaji bermacam-macam bentuk akad yang meliputi:
a. Jual beli (al-ba’i);
b. Penempaan (al-istisna’);
c. Sewa menyewa (al-ijarah);
d. Pemberian kuasa (al-wakalah);
e. Pemindahan utang (al-hiwalah);
f. Pemberian Kuasa (al-kafalah);
g. Perdamaian (as-sulh);
h. Persekutuan (asy-syirkah);
i. Bagi hasil (mudharabah);
j. Hadiah (al-hibah);
k. Gadai (ar-rahn);
l. Penggarapan tanah (al-muzara’ah);
m. pemeliharaan tanaman (al-musaqah);
n. penitipan (al-wadi’ah);
o. Pinjam pakai (al-‘ariyah);
p. Pembagian (al-qismah);
q. Wasiat-wasiat (al-wasiya);
r. Perutangan (al-qard)
Gambaran diatas menunjukkan bahwa (fiqh) muamalat banyak membicarakan permasalahan atau akad-akad dalam mekanisme ekonomi. Oleh karena itu, banyak kalangan yang berpendapat bahwa (fiqh) muamalat disepadankan dengan fiqh ekonomi. Sehingga tidak jarang kalangan menyebutnya sebagai aktivitas ekonomi Islam (Anwar, 2000:2-3).
Yūsuf Al-Qaradhāwī (2014: 8) mengatakan bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun kaidah fiqh mu’amalat yang relevan dalam hal ini adalah: “Hukum asal dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkan dan membatalkannya.” (A. Jazuli 2007: 130). Kaidah ini juga menyatakan bahwa dalam bermu’amalah itu manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk berusaha selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan Allah, dan Rasul-Nya atau hukum-hukum yang datang kemudian atau yurisprudensi.
A. Jazuli (2007: 130) juga menjelaskan bahwa dalam transaksi muamalah juga harus terdapat akad yang di dalamnya terdapat keridhaan kedua belah pihak. Akad yang di dalamnya terdapat keridhaan kedua belah pihak yang berakad merupakan penentu antara sah atau tidaknya suatu transaksi muamalah sebagaimana kaidah: “Hukum asal dalam transaksi (muamalah) adalah adanya keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.” Terdapat pula kaidah fiqh asasi yang menyatakan bahwa: “Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum.” Kaidah fiqh ini dijelaskan bahwa Bermuamalah juga dapat menjadi haram jika tidak berdasarkan hukum yang berlaku di masyarakat itu sendiri selama hukum adat itu tidak bertentangan dengan syari’ah.
Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia supaya hidup saling tolong menolong di atas rasa tanggung jawab bersama, jamin menjamin dan tanggung menanggung dalam hidup bermasyarakat, Islam yang mengajarkan agar hidup dalam bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan praktek-praktek penindasan dan pemerasan.
Alamat link terkait :Dasar-Dasar Muamalah
0 Response to "Dasar-Dasar Muamalah"
Posting Komentar