Pengertian Tahammul Hadis dan Cara atau metode Tahammul Hadis Serta Contohnya
A. Pengertian Tahammul Hadis.
Secara etimologi tahammul merupakan masdar dari fi’il madi tahammala (حتمل - يتحمل - محل (yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti Tahammul al-hadis menurut bahasa adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tahammul al-hadis menurut istilah ulama ahli hadis, sebagaimana tertulis dalam kitab Taisir Mustalah al-hadis adalah:
“Tahammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.”
Menurut pendapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah “mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu.” Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al-Kirmani—pada boleh dan tidaknya hadis tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
Syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:
a. Penerima harus dabit (memiliki hapalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
b. Berakal sempurna.
c. Tamyiz.
Ulama hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyiz dalam hal ini ulama hadispun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis. Mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dan lain-lain, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al-Hafiz Ibnu Kasir dalam bukunya Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis, bahkan beliau menambahkan bahwa tahammul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum balig.
B. Cara-cara Tahammul al-Hadis/ Metode Tahammul al-Hadis.
Cara atau metode Tahammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari Ada’, karena ibarat transaksi dua orang, keduanya harus ada. Metode tahammul berarti juga metode ada’ dalam Hadis Cara-cara seseorang menerima atau mengambil hadis dari seorang rawi sehingga tercatat dalam kitab-kitab hadis sebagaimana yang kita dapati sekarang ini dengan delapan cara sebagai berikut:
1. As-Sama’ (السماع)
As-Sama’ artinya mendengarkan. Maksudnya adalah seorang rawi mendengarkan lafad dari guru/syaikh saat syaikh tersebut membacakan atau menyebut matan atau matan hadis bersama sanadnya. Seorang murid hadir dan mendengar bacaan syaikh, baik dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dikte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini sebagaimana metode ceramah, seorang syaikh menyampaikan periwayatan hadis dengan cara membaca dan seorang murid aktif mendengar. Menurut mayoritas ulama metode tahammul as-Sama` ini berada pada tingkatan yang paling tinggi di antara metode tahammul lainnya, karena metode as-Sama` meniscayakan bertemunya (liqa’) dan berhadapan langsung (bermusyafahah) antara syaikh (guru) dan murid.
2. Al-‘Ardu (العرض)
Al-‘Ardu secara etimologi adalah membaca dengan hapalan. Dalam metode ini, seorang murid membaca hadis sedangkan syaikh (guru) mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab) yang telah dikoreksi oleh syaikh, baik langsung didengarkan syaikh atau orang yang dipercaya untuk mendengarkannya. Mayoritas muḥaddisῑn menyebut metode ini dengan Al-‘Ardu atau ‘Al-‘Ardu al-Qira’ah atau dalam metode pengajaran disebut sorogan. Jumhur ulama memperbolehkan metode Al-‘Ardu atau al-Qira’ah ini, bahkan meletakkannyapada tingkatan kedua setelah as-Sima’i.
3. Al-Ijazah (اإلجازة)
Ijazah secara etimologi berarti membolehkan atau mengizinkan. Misalnya seorang murid diizinkan meriwayatkan suatu ilmu dari guru. Ijazah secara terminologi adalah:
“Izin seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagian periwayatannya.”
Misalnya, ucapan seorang syaikh kepada muridnya: “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dari padaku Shahih al-Bukhari.” Dalam metode ijazah ini biasanya tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut. Metode Ijazah ini memiliki beberapa syarat, di antaranya seorang murid sudah ahli atau layak menerima Ijazah, mampu memahami apa yang diijazahkannya, dan naskah murid hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.
4. Al-Munawalah (الـمناولة)
Munawalah secara etimologi berarti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah syaikh (guru) memberikan kitabnya kepada murid. Guru menyalin kitab tersebut untuk diberikan atau dipinjamkan ke muridnya. Atau dapat juga dalam bentuk seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada syaikh (guru)-nya, yang kemudian dikembalikan kepadanya lagi setelah diperiksa benar-benar oleh gurunya.
Misalnya seorang syaikh mengatakan: haza min hadisi (Ini dari hadisku) atau haza min sima’ati ‘an fulan (Ini adalah apa yang saya dengar dari si fulan).
Hukum periwayatan metode munāwalah yang disertai dengan ijazah boleh-boleh saja, bahkan metode ijazah adalah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah metode al-Sama` dan al-Qira’ah `ala al-Syaikh. Sedangkan periwayatan munawalah yang tidak disertai ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.
5. Al-Mukatabah (املاكتبة)
Mukatabah secara etimologi berarti bertulis-tulisan surat atau berkorespondensi. Dalam terminologi studi hadis maksud metode ini ialah seorang syaikh menulis apa yang ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majelis dengan tulisan syaikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui orang yang terpercaya. Hukum metode Mukatabah yang disertai ijazah dapat diterima dan sama dengan tingkatan metode munawalah berijazah dalam kualitas dan keabsahannya.
Adapun mukatabah yang tanpa ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena tulisan seorang syaikh dengan sesamanya atau kepada muridnya memberikan isyarat makna ijazah.
6. Al-I’lam (اإلعالم)
Al-I’lam secara etimologi berarti memberitahu atau memberi informasi. Maksudnya, seorang syaikh memberi informasi kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia dengar atau yang ia riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara eksplisi. (jelas tegas tidak berbelit-belit). Hukum periwayatan metode ini diperselisihkan para ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkan, dengan alasan informasi seorang syaikh secara implisit mengandung ijazah dalam periwayatan. Seorang syaikh yang śiqqah dan amanah tidak mungkin mengaku menerima hadis yang ia tidak mendengar. Informasi syaikh kepada muridnya tentang periwayatan menunjukkan adanya indikasi rida dari syaikh terhadap tahammul dan ada’ al-hadis.
Sebagian ulama ahli ushul menetapkan bahwa tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa seorang guru telah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul membolehkannya.
7. Al-Wasiyyah (الوصية)
Wasiyyah secara etimologi berarti memesan, memberi pesan, atau mewasiati. Yang dimaksud metode al-wasiyah ialah seorang syaikh ketika akan pergi jauh atau sebelum matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.
Sebagian ulama muta’akhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat mengandung makna izin periwayatan seperti halnya metode munawalah di atas. Sebagian ulama salaf juga melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jurumi (w. 104 H). Sebelum wafatnya, beliau berpesan agar kitab-kitabnya diberikan kepada as-Sukhtiyani ( w. 131 H). Kitab-kitab itu diserahkan kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham.
8. Al-Wijadah (الوجادة)
Wijadah secara etimologi berarti mendapat. Maksud metode ini seseorang mendapatkan sebuah atau beberapa tulisan hadis yang diriwayatkan seorang syaikh yang ia kenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak ada ijazah darinya. Atau seorangmurid mendapatkan sebuah kitab tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak semasa tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut adalah tulisannya dengan bukti-bukti yang kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi pemiliknya, adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya secara bercerita (hikayah).
Misalnya : “Aku temukan dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini dalam kitabnya” tidak dengan cara mendengar secara langsung.
Secara etimologi tahammul merupakan masdar dari fi’il madi tahammala (حتمل - يتحمل - محل (yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti Tahammul al-hadis menurut bahasa adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tahammul al-hadis menurut istilah ulama ahli hadis, sebagaimana tertulis dalam kitab Taisir Mustalah al-hadis adalah:
“Tahammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.”
Menurut pendapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah “mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu.” Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al-Kirmani—pada boleh dan tidaknya hadis tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
Syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:
a. Penerima harus dabit (memiliki hapalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
b. Berakal sempurna.
c. Tamyiz.
Ulama hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyiz dalam hal ini ulama hadispun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis. Mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dan lain-lain, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al-Hafiz Ibnu Kasir dalam bukunya Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis, bahkan beliau menambahkan bahwa tahammul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum balig.
B. Cara-cara Tahammul al-Hadis/ Metode Tahammul al-Hadis.
Cara atau metode Tahammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari Ada’, karena ibarat transaksi dua orang, keduanya harus ada. Metode tahammul berarti juga metode ada’ dalam Hadis Cara-cara seseorang menerima atau mengambil hadis dari seorang rawi sehingga tercatat dalam kitab-kitab hadis sebagaimana yang kita dapati sekarang ini dengan delapan cara sebagai berikut:
1. As-Sama’ (السماع)
As-Sama’ artinya mendengarkan. Maksudnya adalah seorang rawi mendengarkan lafad dari guru/syaikh saat syaikh tersebut membacakan atau menyebut matan atau matan hadis bersama sanadnya. Seorang murid hadir dan mendengar bacaan syaikh, baik dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dikte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini sebagaimana metode ceramah, seorang syaikh menyampaikan periwayatan hadis dengan cara membaca dan seorang murid aktif mendengar. Menurut mayoritas ulama metode tahammul as-Sama` ini berada pada tingkatan yang paling tinggi di antara metode tahammul lainnya, karena metode as-Sama` meniscayakan bertemunya (liqa’) dan berhadapan langsung (bermusyafahah) antara syaikh (guru) dan murid.
2. Al-‘Ardu (العرض)
Al-‘Ardu secara etimologi adalah membaca dengan hapalan. Dalam metode ini, seorang murid membaca hadis sedangkan syaikh (guru) mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab) yang telah dikoreksi oleh syaikh, baik langsung didengarkan syaikh atau orang yang dipercaya untuk mendengarkannya. Mayoritas muḥaddisῑn menyebut metode ini dengan Al-‘Ardu atau ‘Al-‘Ardu al-Qira’ah atau dalam metode pengajaran disebut sorogan. Jumhur ulama memperbolehkan metode Al-‘Ardu atau al-Qira’ah ini, bahkan meletakkannyapada tingkatan kedua setelah as-Sima’i.
3. Al-Ijazah (اإلجازة)
Ijazah secara etimologi berarti membolehkan atau mengizinkan. Misalnya seorang murid diizinkan meriwayatkan suatu ilmu dari guru. Ijazah secara terminologi adalah:
“Izin seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagian periwayatannya.”
Misalnya, ucapan seorang syaikh kepada muridnya: “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dari padaku Shahih al-Bukhari.” Dalam metode ijazah ini biasanya tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut. Metode Ijazah ini memiliki beberapa syarat, di antaranya seorang murid sudah ahli atau layak menerima Ijazah, mampu memahami apa yang diijazahkannya, dan naskah murid hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.
4. Al-Munawalah (الـمناولة)
Munawalah secara etimologi berarti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah syaikh (guru) memberikan kitabnya kepada murid. Guru menyalin kitab tersebut untuk diberikan atau dipinjamkan ke muridnya. Atau dapat juga dalam bentuk seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada syaikh (guru)-nya, yang kemudian dikembalikan kepadanya lagi setelah diperiksa benar-benar oleh gurunya.
Misalnya seorang syaikh mengatakan: haza min hadisi (Ini dari hadisku) atau haza min sima’ati ‘an fulan (Ini adalah apa yang saya dengar dari si fulan).
Hukum periwayatan metode munāwalah yang disertai dengan ijazah boleh-boleh saja, bahkan metode ijazah adalah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah metode al-Sama` dan al-Qira’ah `ala al-Syaikh. Sedangkan periwayatan munawalah yang tidak disertai ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.
5. Al-Mukatabah (املاكتبة)
Mukatabah secara etimologi berarti bertulis-tulisan surat atau berkorespondensi. Dalam terminologi studi hadis maksud metode ini ialah seorang syaikh menulis apa yang ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majelis dengan tulisan syaikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui orang yang terpercaya. Hukum metode Mukatabah yang disertai ijazah dapat diterima dan sama dengan tingkatan metode munawalah berijazah dalam kualitas dan keabsahannya.
Adapun mukatabah yang tanpa ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena tulisan seorang syaikh dengan sesamanya atau kepada muridnya memberikan isyarat makna ijazah.
6. Al-I’lam (اإلعالم)
Al-I’lam secara etimologi berarti memberitahu atau memberi informasi. Maksudnya, seorang syaikh memberi informasi kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia dengar atau yang ia riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara eksplisi. (jelas tegas tidak berbelit-belit). Hukum periwayatan metode ini diperselisihkan para ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkan, dengan alasan informasi seorang syaikh secara implisit mengandung ijazah dalam periwayatan. Seorang syaikh yang śiqqah dan amanah tidak mungkin mengaku menerima hadis yang ia tidak mendengar. Informasi syaikh kepada muridnya tentang periwayatan menunjukkan adanya indikasi rida dari syaikh terhadap tahammul dan ada’ al-hadis.
Sebagian ulama ahli ushul menetapkan bahwa tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa seorang guru telah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul membolehkannya.
7. Al-Wasiyyah (الوصية)
Wasiyyah secara etimologi berarti memesan, memberi pesan, atau mewasiati. Yang dimaksud metode al-wasiyah ialah seorang syaikh ketika akan pergi jauh atau sebelum matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.
Sebagian ulama muta’akhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat mengandung makna izin periwayatan seperti halnya metode munawalah di atas. Sebagian ulama salaf juga melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jurumi (w. 104 H). Sebelum wafatnya, beliau berpesan agar kitab-kitabnya diberikan kepada as-Sukhtiyani ( w. 131 H). Kitab-kitab itu diserahkan kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham.
8. Al-Wijadah (الوجادة)
Wijadah secara etimologi berarti mendapat. Maksud metode ini seseorang mendapatkan sebuah atau beberapa tulisan hadis yang diriwayatkan seorang syaikh yang ia kenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak ada ijazah darinya. Atau seorangmurid mendapatkan sebuah kitab tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak semasa tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut adalah tulisannya dengan bukti-bukti yang kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi pemiliknya, adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya secara bercerita (hikayah).
Misalnya : “Aku temukan dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini dalam kitabnya” tidak dengan cara mendengar secara langsung.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian tahammul hadis dan cara atau metode tahammul hadis serta contohnya. Sumber buku Siswa Hadits Ilmu Hadits Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Alamat link terkait :Pengertian Tahammul Hadis dan Cara atau metode Tahammul Hadis Serta Contohnya
0 Response to "Pengertian Tahammul Hadis dan Cara atau metode Tahammul Hadis Serta Contohnya"
Posting Komentar