Dua Faktor Pemutus Mata Rantai Kezaliman : Menjadi Shalih & Mushlih
Oleh : Ustadz Sholih Hasyim
Terdapat dua dosa yang disegerakan balasannya di dunia ini, yaitu melakukan praktek kezaliman (al baghyu) dan durhaka kepada orang tua ('uq uqul walidain).
اِثنانِ يُعَجِّلُهما اللهُ في الدنيا البَغيُ وَ عُقوقُ الوالِدَيْنِ
Dua dosa yang dipercepat balasannya di dunia ini, yaitu berlaku zalim dan durhaka kepada orang tua (HR. Thabrani dari Ibnu Asakirah)..
Dalam upaya menghentikan/memutus mata rantai kezaliman, marilah kita merujuk taujih Allah Ta’ala pada surat Al Anam : 129 berikut ini, yaitu menghentikan segala bentuk praktek kezaliman dari diri kita sendiri (ishlahun nafs), berikutnya kita melangkah membuat shalih orang lain (mushlih). Untuk menjadi shalih linafsihi tidak mudah dan tidak sederhana. Lebih sulit lagi menjadi shalih lighoirihi. Jalan yang terakhir ini beresiko tidak ringan..
وَكَذَلِكَ *نُوَلِّي* بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal (maksiat) yang mereka lakukan” (QS Al An’am:129).
Tentang makna *‘nuwalli’* yang ada dalam ayat di atas ada empat pendapat ahli tafsir (mufassir).
Pertama, Kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai kekasih bagi sebagian yang lain. Pendapat ini diriwayatkan oleh Said dari Qotadah.
Kedua, Sebagian orang yang zalim itu kami jadikan mengiringi yang lain di neraka disebabkan amal yang mereka lakukan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ma’mar dari Qotadah.
Ketiga, Kami jadikan orang yang zalim sebagai penguasa bagi zalim yang lain sebagai hukuman atas perbuatannya. Pendapat ini diungkapkan oleh Ibnu Zaid.
Keempat, Kami pasrahkan sebagian orang yang zalim kepada yang lain dalam artian tidak kami tolong. Pendapat ini disebutkan oleh Imam al Mawardi.
Sedangkan yang di maksud dengan ‘amal’ dalam ayat di atas adalah berbagai bentuk maksiat dan kezaliman. (Zadul Masir fi ‘Ilmi Tafsir karya Ibnul Jauzi 3/124, cetakan ketiga Al Maktab Al Islamy tahun 1984/1404).
Ibnu ‘Asyur mengatakan,
“Ayat tersebut bisa dipahami mencakup seluruh orang yang zalim. Sehingga ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah akan menjadikan seorang yang zalim akan dikuasai dan dizalimi oleh orang selainnya. Praktek kezaliman itu beranak-pinak (mengajak kezaliman berikutnya). Inilah penafsiran yang diberikan oleh Abdullah bin Zubair, salah seorang shahabat Nabi, saat beliau berkuasa di Mekkah. Ketika Ibnu Zubair mendengar bahwa Abdul Malik bin Marwan membunuh ‘Amr bin Said al Asydaq setelah ‘Amr memberontak terhadap Abdul Malik, beliau naik ke atas mimbar.
Di sana Ibnu Zubair berkata,
“Ketahuilah bahwa Ibnu Zarqa’ - yaitu Abdul Malik bin Marwan. Marwan diberi gelar Azraq dan Zarqa’ yang berarti biru karena kedua matanya berwarna biru- telah membunuh Lathim Syaithan (orang yang ditampar oleh setan yaitu ‘Amr bin Said)” kemudian Ibnu Zubair membaca ayat di atas.
Lathim Syaithon adalah gelar ejekan yang diberikan untuk Amr bin Said disebabkan dua ujung mulutnya tidak simetris. Banyak pihak yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan setan pernah menamparnya.
Oleh karena itu, ada orang yang mengatakan bahwa jika orang yang zalim itu tidak menghentikan kezalimannya maka dia akan ditindas oleh orang zalim yang lain.
Fakhruddin Ar Razi mengatakan,
“Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim maka hendaklah mereka meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan” (Tafsir At Tahrir wat Tanwir karya Ibnu Asyur 8/74 cetakan Dar Tunisiah 1984).
Dalam Tafsirnya yang sebagiannya telah dikutip oleh Ibnu Asyur di atas, Ar Razi mengatakan, “Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan jika rakyat suatu negara itu zalim (baca : gemar maksiat, berzina, korupsi dll) maka Allah akan mengangkat untuk mereka penguasa yang zalim semisal mereka. Jika mereka ingin terbebas dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka juga meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.
“Ayat di atas juga menunjukkan bahwa di tengah-tengah suatu komunitas manusia harus ada yang menjadi penguasa. Jika Allah tidak membiarkan orang-orang yang zalim tanpa pemimpin meski juga sesama orang yang zalim maka tentu Allah tidak akan membiarkan orang-orang shalih tanpa pemimpin yang mendorong rakyatnya agar semakin shaleh dan beradab.
Ali bin Abi Thalib berkata,
لا يَصْلحُ للِنّاسِ إلاَّ أمِير عَادِل أوْ جَائِر ، فأنكَروا قَوْلَه : أوْجائر فقال : نعَم يؤمن السّبيل ، ويمكن من إقامَة الصلوات ، وحج البَيْت .
“Tidaklah baik bagi suatu masyarakat jika tanpa pemimpin, baik dia adalah orang yang shalih ataupun orang yang zalim”.
Ada yang menyanggah beliau terkait dengan kalimat ‘ataupun orang yang zalim’. Ali menjelaskan, ; “Memang dengan sebab penguasa yang zalim jalan-jalan terasa aman, rakyat bisa dengan tenang mengerjakan shalat dan berhaji ke Ka’bah”. (Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib karya Muhammad ar Razi 13/204 cetakan Dar al Fikr 1981/1401).
Sudahkah kita semua bertaubat (kembali kepada Allah) dan meninggalkan berbagai bentuk maksiat dan penyimpangan fitrah dan kezhaliman baik pada skala kehidupan infiradi, usrah, dan jama'i dan secara berkesinambungan melakukan kerja-kerja ishlahiyyah dan khidmah tarbawiyyah untuk mempersiapkan generasi pelanjut (menjadi murabbi, mudarris, mu'allim, mursyid, muaddib, muzakki), hingga pada saatnya dan pada momentum yang tepat, Allah hadirkan pemimpin yang adil ?. Sungguh, masa depan kita tergantung pada kiprah kita mempersiapkan generasi penerus. Yaitu, dengan bermujahadah memaksimal peran, fungsi, dan kontribusi murabbi..
Allah menghendaki kita kembali kepada-Nya pada surat An-Nisa' Ayat 27
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).
Yang perlu diberi titik tekan disini bahwa dimanapun kelahiran seorang pemimpin adalah foto copy dari karakter mayoritas bangsanya. Karena, pada umumnya masyarakat itu paternalistik (patuh kepada panutannya). Jika kita bermujahadah menjadi rajulun shalih, kelak akan lahir pemimpin semisal kita. Demikian pula berlaku sebaliknya..
Sebagaimana ungkapan pujangga Arab :
الرَّعِيَّة على دِين مُلكِه
Rakyat itu berbanding lurus dengan agama rajanya.
Multi Talenta Kiprah Murabbi
Langkah berikutnya, upaya mendasar yang sedang kita ikhtiarkan secara lahir dan batin adalah memformat diri ini menjadi murabbi. Sebuah posisi dan profesi yang mulia. Mewarisi tugas kenabian dan kerasulan. Meniupkan ruh di jasad umat. Mempertemukan umat dengan sumber energinya (keimanannya)..
Allah memberikan taujih pada Surat Asy-Syura Ayat 52
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Kita menemukan definisi yang tidak dijumpai pada dunia pendidikan, yang hanya menggunakan tiga kata :
فَنُّ تَشْكِيْلِ الاِنْسَانِ
Seni memformat manusia.
Merujuk definisi diatas dapat dipahami bahwa pendidikan pasti melakukan pengajaran. Dan aktifitas mengajar tidak identik dengan mendidik. Maka, pendidikan yang benar adalah cara interaksi yang benar dengan manusia dengan segala potensinya. Menata ulang fikrah, ruh, dan pisik manusia secara terpadu.
Dalam konteks pendidikan islam pendidik di sebut murabbi, mu’allim, muaddib, mudarris, muzakki, dan ustadz. Istilah yang digunakan menggambarkan peran dan fungsi yang diembannya. Maka, tidak perlu ada dikotomi dengan beragam terma tersebut.
1. Murabbi
Istilah murabbi merupakan bentuk (sighah) al-ism al fail yang berakar dari tiga kata.
Pertama, berasal dari kata raba, yarbu : رَبَى - يَرْبُو -, yang artinya zada - زاد - dan namaa -نمى - ( bertambah dan tumbuh ). Contoh kalimat dapat di kemukakan, artinya, saya menumbuhkannya.
Kedua, berasal dari kata rabiya, yarba - ربِيَ - يربَى - yang mempunyai makna tumbuh (nasya’) dan menjadi besar ( tarara’).
Ketiga, berasal dari kata rabba , yarubbu - رَبّ يرُبُّ - yang artinya, memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata kerja rabba semenjak masa Rasulullah sudah di kenal dalam ayat al-Qur’an dan Hadits nabi.
Firman Allah SWT :
وقُل رَبِّ ارْحَمْهُما كَما رَبّيانِي صَغِيرا
“Dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, sayangilah mereka berdua, sebagaimana ia telah menyayangiku semenjak kecil. “ (QS. al-Isra’ (17) : 24)
Dalam bentuk kata benda, kata rabba digunakan untuk Tuhan, hal tersebut karena tuhan juga besifat menciptakan, mendidik, mengasuh, memelihara. Setelah diciptakan, tidak dibiarkan tanpa arah..
Firman Allah SWT:
الحَمدُ لله رَبِّ العالمِين
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. ( QS. al-Fatihah : 2).
Dan Firman Allah pada Surat Ali 'Imran Ayat 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata) : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Oleh karena itu istilah murabbi sebagai pendidik mengandung makna yang luas, seluas medan tarbiyah yang akan diterjuninya, yaitu:
1. Mendidik peserta didik agar kemampuannya terus meningkat.
2. Memberikan bantuan terhadap peserta didik untuk mengembangkan potesnsinya.
3. Meningkatkan kemampuan pesrta didik dari keadaan yang kurang dewasa menjadi dewasa dalam pola pikir, wawasan, dan sebagainya.
4. Menghimpun semua komponen-komponen pendidikan yang dapat mengsukseskan pendidikan.
5. Memobilisasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
6. Bertanggung jawab terhadap proses pendidikan anak.
7. Memperbaiki sikap dan tingkah laku anak dari yang tidak baik mnjadi yang lebih baik.
8. Rasa kasih sayang mengasuh peserta didik, sebagaimana orang tua mengasuh anak-anak kandungnya.
9. Pendidik memiliki wewenang, kehormatan, kekuasaaan, terhadap pengembangan kepribadian anak.
10. Pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuanya di rumah yang berhak atas petumbuhan dan perkembangan si anak.
Secara ringkas terma murabbi sebagai pendidik mengandung empat tugas utama yaitu:
1. Memlihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa.
2. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap (tadrijiyyan).
2. Mu’allim
Mu’allim berasal dari al-fi’l al-madhi ‘alama, mudhari’nya yu’allimu dan mashdarnya al-ta’lim. - علّم - يعلّمُ - التّعلِيم - . Artinya, telah mengajar, sedang mengajar, dan pengajaran. Kata mu’allim memiliki arti pengajar atau orang yang mengajar. Istilah mu’allim sebagai pendidik dalam Hadist Rasulullah adalah kata yang paling umum di kenal dan banyak di temukan. Mu’allim merupakan al-ism al-fa’il dari ‘alama yang artinya orang yang mengajar. Dalam bentuk tsulasi mujarrad, mashdar dari ‘alima adalah ‘ilmun, yang sering di pakai dalam bahasa indonesia disebut ilmu.
Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang di kenal sesudah al-tarbiyyat adalah al-ta’lim. Rasyid Ridha, mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu.
Firman Allah SWT pada Surat Al-Baqarah : 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS. al Baqarah (2) : 151).
Berdasarkan ayat di atas, maka mu’allim adalah orang yang mampu untuk merekonstruksi bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan, dan sebagainya, yang ada kaitannya dengan hakekat sesuatu. Mu’allim adalah orang yang memiliki kemampuan unggul di bandingkan dengan peserta didik, yang dengannya ia di percaya menghantarkan peserta didik ke arah kesempurnaan dan kemandirian.
3. Muaddib
Mu’addib merupakan al-ism al-fa’il dari madhinya addaba. Addaba artinya mendidik, sementara mu’addib artinya orang yang mendidik atau pendidik. Dalam wazan fi’il tsulasi mujarrad, mashdar aduba adalah adaban artinya sopan, berbudi baik. Al-adabu artinya kesopanan. Adapun mashdar dari addaba adalah ta’dib, yang artinya pendidikan.
Secara bahasa mu’addib merupakan bentukan mashdar dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik. Adab dalam kehidupan sehari-hari sering di artikan tata krama, sopan santun, akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya sering di pahami sebagai anak yang sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji.
Dalam kamus bahasa arab, Al-mu’jam al-wasith istillah mu’addib mempunya makna dasar sebagai berikut :
1. Ta’dib berasal dri kata “aduba-ya’dubu”- ادُب - يادُب - yang berrti melatih, mendisiplinkan diri untuk berprilaku yang baik dan sopan santun.
2. Kata dasarnya “adaba-yadibu” - ادَبَ - يادِبُ - yang artinya mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat dan berprilaku sopan.
3. Addaba mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan rmemberikan tindakan.
Dalam kitab-kitab hadist dan kitab lain-lainya tentang agama islam, pengertian adab adalah etiket atau tata cara yang baik dalam melakukan suatu pekerjaan, baik ibadah ataupun mu’amalah. Karena itu ulama menggariskan adab—adab tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadist. Adab tertentu itu misalnya, adab memberikan salam, minta izin untuk memasuki sebuah rumah, adab berjabat tangan dan berpelukan, adab hendak tidur, adab bangun tidur, adab berwudhu, dan masih bnyak adab-adab yang lainnya yang tdak bsa di sebutkan satu persatu, karena setiap pekerjaan kita sllu didasari dengan adab.
Berdasarkan tinjauan etimologi di atas, maka secara terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila, dan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.
4. Mudarris
Secara etimologi mudarris berasal dari bahsa arab, yaitu shigat al-ism al-fa’il dari al-fi’il al-madhi darrasa - دَرَّسَ - يُدَرِّسُ - التَّدْرِيس - . Darrasa artinya mengajar sementara mudarris artinya guru, pengajar. Kata yang mirip dengan mudarris adalah al-midras - ُالمِدْرَاس - adalah suatu rumah untuk mempelajari al-Qur’an, sama halnya dengan al-midras orang Yahudi, adalah suatu tempat untuk mempelajari kitab mereka. Dalam bentuk al-fi’il al-madhi tsulasi mujarrad, mudarris berasal dari kata darasa, mudhari’nya yadrusu mashdarnya darsan/dirasatan, artinya telah mempelajari, sedang/akan mempelajari dan pelajaran. Mashdar dari darasa adalah durusan, yang artinya hilang, hapus, buruk.
Secara terminologi mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa mudarris adalah orang yang mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain dengan metode-metode tertentu dalam membangkitkan usaha peserta didik agar sadar dalam upaya meningkatkan potensinya. Dalam bahasa yang lebih ringkas mudarris adalah orang yang dipercayakan sebagai guru dalam upaya membelajarkan peserta didik.
5. Mursyid.
Mursyid adalah istilah lain yang di pergunakan untuk panggilan pendidik dalam pendidikan islam. Secara etimologi istilah mursyid berasal dari bahasa arab dalam bentuk al-ism al- ja’il dari al-fi’al al-madhi rassyada artinya ‘allama; mengajar. Sementara mursyid memiliki persamaan makna dengan kata al-dalil dan mu’allim, yang artinya penunjuk, pemimpin, pengajar, dan istruktur. Dalam bentuk tsulasi mujarrad mashdar nya adalah rusydan/ rasyadan, artinya balaghah rasyadu ( telah sampai kedewasaanya). Al-rusydu juga mempunyai arti al-‘aqlu, yaitu akal, fikiran,kebenaran, kesadaran, keinsyafan. Al-irsyad sama dengan al-dilalah, al-ta’lim, al-masyurah artinya petunjuk, pengajaran,nasehat, pendapat, pertimbangan, dan petunjuk.
Berdasarkan pengertian secara etimologi diatas, maka mursyid secara terminologi adalah merupakan salah satu sebutan pendidik/guru dalam pendidikan islam yang bertugas untuk membimbing peserta didik agar ia mampu menggunakan akal fikirannya secara tepat, sehingga ia mencapai keinsyafan dan kesadaran tentang hakekat sesuatu atau mencapai kedewasaaan berfikir. Mursyid berkedudukan sebagai pemimpin, penunjuk jalan, pengarah, bagi peserta didiknya agar ia memperoleh jalan yang lurus.
6. Muzakki
Sebagaimana istilah yang di pakai untuk pendidik sebelumnya, maka muzakki juga merupakan kalimat ism dalam bahasa arab dengan shigat al-ism al-fa’il atau yang melakukan suatu perbuatan. Muzakki berasal dari al-fi’il madhi empat huruf, yaitu zakka yang artinya nama dan zakka adalah menyucikan, membersihkan, memperbaiki, dan menguatkan. Dalam bentuk kata lain terdapat juga tazakka artinya tashaddaq, yakni memberi sedekah, berzakat, menjadi baik bersih. Azzakat sama artinya dengan al-Thaharat dan Al- Shadaqat, yakni kesucian, kebersihan, shadaqat, dan zakat.
Surat Al-Jumu’ah Ayat 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Berdasarkan pembahasan secara bahasa di atas, maka secara istilah muzakki adalah orang yang membersihkan, mensucikan sesuatu agar ia menjadi bersih dan suci terhindar dari kotoran. Apabila di kaitkan dengan pendidikan islam, maka muzakki adalah pendidik yang bertanggung jawab untuk memelihara, membimbing, dan mengembangkan fitrah peserta didik, agar ia selalu berada dalam kondisi suci dalam keadaan ta’at kepada allah terhindar dari perbuatan yang tercela.[1]
[1] Ramayulis dan samsul nizar, filsafat., .h. 139-144
Alamat link terkait :Dua Faktor Pemutus Mata Rantai Kezaliman : Menjadi Shalih & Mushlih
0 Response to "Dua Faktor Pemutus Mata Rantai Kezaliman : Menjadi Shalih & Mushlih"
Posting Komentar