Nurani Seks, Bukan Persetujuan Seks
SEKS itu naluriah, sama seperti hasrat manusia terhadap harta, tahta dan ananda. Begitu mendasarnya hasrat manusia akan seks, maka ia disebut sebagai basic instinct alias syahwat. Bersama basic instinct yang lain, yaitu agresivitas (ghadhab), maka ia adalah pasangan yang Islam sebut sebagai hawa nafsu.
Keduanya juga sering disebut orang sebagai dorongan: drive, karena sifatnya memang mendorong manusia untuk melampiaskannya. Maka ada istilah “dorongan hawa nafsu”. Ia bagaikan lokomotif dari sebuah kereta yang menarik gerbong-gerbong. Alhasil nafsu itu senantiasa bersifat mengumbar.
Itulah sebabnya kenapa nafsu itu senantiasa butuh rem, karena ia adalah sepenuhnya gas. Maka Allah ciptakan akal untuk mendampingi nafsu. Dia pasangkan jalan dosa (fujur) dengan jalan taqwa. Allah temankan naluri dengan nurani. Ya, nafsu mendorong, dan nurani mengendalikannya.
Maka nafsu, termasuk seks, begitu menghajatkan pengendalian, bukan kesepakatan (consent). Karena seks itu buta dan hewani. Ia adalah sepucuk pistol yang moralitasnya sangat bergantung pada tangan yang menggenggamnya.
Alhasil, pistol, nafsu, naluri dan seks butuh lisensi, bukan kesepakatan… ya, semacam licence to kill: sebuah otorisasi untuk membunuh. Karena membunuh tak pernah boleh untuk menjadi sebuah kesepakatan antara pelaku dengan korban.
Dan naluri seksual tak punya hak untuk membangun sebuah gentleman agreement. Alasannya: karena dia naluriah, hewani dan primitif!
Cukuplah Barat dengan kebodohannya lalu membiarkan orang bersepakat untuk bertinju, saling baku pukul dan menjadi tontonan berbayar. Mereka merasa butuh panggung katarsis untuk menyalurkan hasrat hewaniahnya.
Tapi toh itupun dibatasi oleh sebuah ring, aturan ketat, dan seorang wasit yang melerai. Akhirnya nurani mereka pun tak mampu berkata lain: bahwa baku insting tetap butuh kendali
Jelas dan logis sudah, seks itu butuh kendali nurani dan lisensi dari Sang Pemilik otoritas kebenaran. Sebuah sexual conscience, bukan sexual consent. Ini semacam kuda liar yang menghajatkan tali kekang. Dan lisensi itu bernama pernikahan, karena naluri bumi selamanya harus tunduk di bawah moralitas langit.
Apakah pernikahan adalah sebuah kesepakatan seksual? Sebuah sexual consent? Sama sekali tidak! Karena dalam pernikahan ada sepasang anak manusia yang sepenuhnya tunduk pada aturan langit, persetujuan sosial, dan ijin otoritas.
Maka pernikahan itu memiliki mempelai, wali, saksi, akad, dan mahar. Pernikahan adalah sebuah peristiwa di mana naluri tunduk penuh di bawah nurani.
Dan ketika seorang petinggi akademik berkilah bahwa sexual consent hanyalah upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, maka mari kita terbahak. Karena naluri yang bersepakat dengan naluri adalah sebuah kekerasan, penganiayaan dan kezaliman.
Insting yang bersepakat dengan insting adalah ketidakadilan terhadap nurani. Ketika kesepakatan itu kelak dicurangi, lalu siapa yang bertanggung jawab?
Sobat, jangan pernah ijinkan nafsu memutuskan dan bersepakat, karena ia kelak akan jadi sesalan. Bukankah kita tak mengijinkan keputusan yang diambil oleh amarah? Bukankah kita dilarang bersikap saat didekap luapan emosi?
Bagaimanapun, kita tak mungkin biarkan dua bocah usia dini bersepakat untuk sebuah transaksi ekonomi, karena kesepakatan hanyalah milik akal sehat, bukan milik lugu dan nafsu. Seks adalah aktivitas ketika pintu telah ditutup dan lampu telah dimatikan. Tak ada seorangpun saksi atawa catatan administrasi.
Sebuah kriminalitas saat itu bisa terjadi tanpa bukti dan saksi. Bukankah itu rentan bagi terjadinya sebuah kekerasan seksual. Ah, betapa mengerikannya jika itu hanya hasil kesepakatan.*
Adriano Rusfi, Penulis tinggal di Yogyakarta
Alamat link terkait :Nurani Seks, Bukan Persetujuan Seks
0 Response to "Nurani Seks, Bukan Persetujuan Seks"
Posting Komentar