Hidup yang Terpojok

Judul : Hidup yang Terpojok

Baca Juga:


Hidup yang Terpojok

Oleh : Burhan Solihin

“Kegagalan itu tak pernah ada kecuali kamu berhenti bergerak.”

Itu nasehat orang tua yang selalu dipegang oleh teman saya setiap kali hidupnya terpojok. Hidupnya dulu susah, tapi saat saya ketemu lagi setelah bertahun-tahun tak berjumpa, dia menjadi pengusaha dan tokoh nasional yang sering diliput media.

Saat kuliah teman saya satu ini kerap hidupnya terdesak. Kiriman uang dari orang tua sering telat dan kadang jumlah jauh dari cukup. Pernah suatu hari tanggal terasa sangat tua. Dia berdoa khusyuk. Uang di kantongnya tak cukup untuk membeli lauk. Untung masih ada beras di kos.

Usai berdoa di subuh yang bening, dia merenung mencari akal. Dia tahu Tuhan Maha Kuasa bisa saja menjatuhkan gunung emas di depan rumah kosnya. Tapi, dia berpikir, mosok Tuhan segampang itu dirayu dengan doa. Otak reptilnya (bagian otak yang selalu mempertanyakan bila ada sesuatu yang baru) meragukan itu

Alhasil, dia bangkit ke meja makan yang reyot sambil berpikir keras. Dia melihat sisa-sisa makanan teman sekosnya. Ada sayur singkong semalam. Dia seperti menemukan aha moment. Sayur ini pasti sudah tak dimakan lagi dan itu bisa menjadi lauk makan hari itu.

Saat dia melongok lebih detail, menyendok sayur bekas, ternyata kuahnya sudah berlendir. Basi! “Ah, Tuhan tidak berpihak pada saya,” katanya dalam hati. Satu-satunya harapannya, yakni sayur sisa semalam, ternyata tak bisa dimakan.

Sedih. Marah. Tapi juga lapar. Dia pun beranjak memasak nasi. Otaknya terus berputar. “Apa boleh buat,” katanya dalam hati.

Akhirnya dia memutuskan mengambil lagi sayur singkong basi itu. Dia membawanya ke tempat cuci piring. Cuma ada keran rusak dan ember di sana. Sayur basi itu tidak dia buang, namun dia cuci berulang kali, dia peras, sampai lendir–tanda-tanda bahwa bakteri pembusuk sudah mulai bekerja–di sayur itu hilang.

Selanjutnya dia merebus kembali sayut itu dan menjadi teman makan nasi siang itu. Siang itu, teman saya SELAMAT dari rasa lapar!

Saat kuliah, kiriman uang dari ibu saya juga pas-pasan. Saya sampai harus mengatur jadwal jajan beli “gorengan”. Ya, seminggu jatah saya jajan cuma dua potong tempe goreng. Kalau lebih, keuangan negara kos bisa defisit. Gawat.

Saya juga tak pernah naik angkot ke kampus kecuali saat ujian. Uang bulanan saya tak akan cukup untuk bermewah-mewah naik angkot. Padahal kos saya lumayan jauh dari kampus, 2 kilometer dan jalan ke kampus menanjak, cukup membuat napas saya ngos-ngosan. Namun, tetap saja saya tak seterpojok teman saya.

Hebatnya lagi teman saya, meski kesulitan membelitnya tiap hari, di kampus dia selalu cerita. Tak ada segaris kesedihan pun di wajahnya. Itu berkat nasehat ayahnya: “Kegagalan itu tak pernah ada kecuali kamu berhenti bergerak.”

Dia aktif di organisasi kemahasiswaan. Dia juga mewajibkan diri untuk membeli buku non pelajaran setiap bulan. Meski hidupnya mepet. Itu terjadi gara-gara senior di kampus di sebuah pelatihan kepemimpinan bertanya kepadanya, “Kamu punya berapa buku di luar buku pelajar?” Teman saya itu menjawab dengan bangga,”Tiga buku.” Dia ditertawakan oleh seniornya. “Kurang banyak,” kata sang senior. Sejak itulah dia menabung, rela makan sayur basi, demi mengisi otaknya dengan buku.

Demi buku pula sembari kuliah dia bekerja apa saja. Dia menjadi loper majalah Tempo atau menjual jasa penerjemahan artikel tugas kuliah bagi mahasiswa lain. “Satu lembar penerjemahan ya lumayan untuk makan satu hari.”

Hampir tiap hari dia dihantam oleh kesulitan. Namun, dia bangkit dan memukul balik keadaan. Para psikolog menyebut kemampuan seperti itu sebagai resilience, kemampuan dinamis untuk bangkit dengan cepat dari berbagai kesulitan.

Ibarat bola, yang terpenting itu bukan semata-mata seberapa kuat kita bertahan saat bola itu jatuh. Tapi, seberapa tinggi kita bisa MEMANTUL kembali.

Saat kita dihantam krisis seperti sekarang, kemampuan untuk resilience menjadi amat penting. Meski omzet bisnis terjun bebas, seberapa kuat kita akan memantul kembali itu yang lebih penting.

Teman saya itu kini sukses. Kalau dibedah dengan teori psikologi moderen, teman saya itu memiliki 6 faktor pendukung kapasitas resilience yang luar biasa. Dia punya :

  1. Visi dan tujuan hidup yang jelas saat dalam kesulitan. Sejak dulu dia bercita-cita menjadi pengusaha.
  2. Membangun jaringan kolaborasi. Di tengah kesulitan dia mencari peluang dari jaringan temannya. “Your network is your net worth,” begitu kata orang pintar. Artinya, jaringan temanmu adalah kekayan bersihmu.
  3. Memiliki daya tahan dan kemampuan memantul.
  4. Kegigihan berjuang
  5. Punya solusi, problem solving dan rencana antisipasi atas segala masalah.
  6. Kalem dan menjaga emosi sesulit apa pun

Yuk saatnya kita memantul kembali dan memukul balik keadaan.

Sumber : www.jamilazzaini.com

Judul artikel terkait :Hidup yang Terpojok
Alamat link terkait :Hidup yang Terpojok

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hidup yang Terpojok"

Posting Komentar