Pengertian Tafsir Kontemporer dan Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer
A. Pengertian Tafsir Kontemporer
Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris (contemporary)1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.2
Tidak ada kesepakatan yang jelas tentang istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer di sini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.3
Maka dapat disimpulkan bahwa tafsir kontemporer ialah tafsir atau penjelasan ayat Al-Quran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.4
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Quran yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
Adapun problem kemanusiaan yang muncul di hadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.
Namun demikian, apabila definisi di atas tidak dipahami dengan cermat, maka akan menyesatkan banyak orang, sebab akan terkesan bahwa Al-Quran harus mengikuti perkembangan zaman. Sebuah statemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern kontemporer adalah; merekonstruksi kembali produk-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern.5 Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa tafsir kontemporer ialah tafsir atau penjelasan ayat Al-Quran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini yang tentunya berbeda dengan tafsir klasik.
B. Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer
Kemunculan tafsir kontemporer erat kaitannya dengan mulai muncul istilah pembaharuan yang dipopulerkan oleh beberapa ulama modern kontemporer yang menginginkan pendekatan dan metodologi baru dalam memahami Islam. Persepsi para pembaharu memandang bahwa pemahaman Al Quran yang terkesan jalan di tempat. Alih alih mereka memandang bahwa metodologi klasik telah menghilangkan ciri khas Al-Quran sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.
Sebut saja Ali Harb misalnya (untuk tidak menyebut semuanya). Ia menyarankan pembacaan kritis pada tafsir AlQuran. Menurutnya, pembacaan kritis itu adalah pembacaan atas teks Al-Quran yang selama ini tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca itu.6 Lalu Nashr Hamid Abu Zayd menyebut Al-Quran sebagai produk budaya, yakni teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh, selama lebih dari dua puluh tahun dan ditulis dengan berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut.7
Keuniversalan petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran itu dapat dirumuskan dengan selalu mengasumsikan dan mempertimbangkan kondisi sosio-historis yang muncul ketika itu, lalu diusahan dikontekstualkan dengan kondisi kekinian. Syahrur pernah mengkritik bahwa idealnya tafsir harus merupakan kajian ilmiah yang objektif atas teks suci keagamaan (al-Nash al-Qudsy). Makanya ia tidak boleh dilandasi oleh kepentingan-kepentingan tendensius, sebab hal itu akan menjerumuskan seseorang pada kearagu-raguan dan menyebabkan hilangnya nilai objektifitas penafsiran.8
Fazlur Rahman misalnya menggagas metode tematikkontekstual. Menurut Rahman, ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dipahami hanya secara literal saja, sebagaimana yang dipahami oleh para penafsir klasik. Menurutnya, memahami Al-Quran dengan cara mengambil makna harfiahnya saja bukan hanya akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang diberikan AlQuran, melainkan hal itu juga merupakan upaya pemaksaan terhadap ayat-ayat Al-Quran itu sedangkan sendiri. Menurut Fazlur Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan Al-Quran kepada umat manusia bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiah itu sendiri, melainkan ideal moral yang ada di balik ungkapan literal tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran harus dipahami dari sisi pesan moral dan maqashid asy-syari'ah-nya.
Guna menemukan pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, Fazlur Rahman kemudian mengusulkan tentang urgensi pada pengkajian situasi dan kondisi historis yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Quran, baik berupa asbab an-nuzul maupun situasi sosial, politik, ekenomi, budaya, dan juga peradaban masyarakat saat Al-Quran diturunkan. Bagi Fazlur Rahman, ayat-ayat Al-Quran adalah pernyataan moral, religius, dan sosial Tuhan untuk merespons apa yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam ayat-ayat itulah terdapat apa yang oleh Rahman disebut ideal moral, yang pada giliran selanjutnya ideal moral inilah yang harus dijadikan acuan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Menurut Mustaqim, dengan memakai pendekatan hermeneutika model Emilio Betti, Rahman menawarkan hermeneutika double movement, yakni model penafsiran Al-Quran yang ditempuh melalui gerak ganda: bergerak dari situasi sekarang menuju ke masa di mana Al-Quran diturunkan untuk kemudian ditarik kembali ke masa kini.
Selaras dengan itu, kajian tentang Al-Quran dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menye-garkan kembali kajian sebelumnya, yang di anggap sudah out of date. 9 Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Al-Quran dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.10
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian tafsir kontemporer dan sejarah munculnya tafsir kontemporer. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Quran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Daftar Pustaka:
1. John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003)., 143.
2. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003).
3. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi: Sulton Thaha Press, 2007).
4. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1998).
5Rosihon Anwar, Samudra Al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
6. Ali Harb, Naqd an-Nashsh, (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 1995), hlm. 204-205.
7. Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash: Dirasat fi 'Ulum Al-Quran, (Kairo: alHay'ah al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, 1993), hlm. 27-28.
8. Syahrur, al-Kitab wa al-Qur,an; Qiraah Mu'ashiroh (Damaskus: Ahali li alNasyr wa al-awzi 1992 hal 30.
9. Nurcholish Setiawan, “Al-Qur`an Dalam Kesejarahan Klasik & Kontemporer,” Jurnal Study Al-Qur‟an, (2006), 93.
10. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer, 58.
Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris (contemporary)1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.2
Tidak ada kesepakatan yang jelas tentang istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer di sini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.3
Maka dapat disimpulkan bahwa tafsir kontemporer ialah tafsir atau penjelasan ayat Al-Quran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.4
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Quran yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
Adapun problem kemanusiaan yang muncul di hadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.
Namun demikian, apabila definisi di atas tidak dipahami dengan cermat, maka akan menyesatkan banyak orang, sebab akan terkesan bahwa Al-Quran harus mengikuti perkembangan zaman. Sebuah statemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern kontemporer adalah; merekonstruksi kembali produk-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern.5 Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa tafsir kontemporer ialah tafsir atau penjelasan ayat Al-Quran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini yang tentunya berbeda dengan tafsir klasik.
B. Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer
Kemunculan tafsir kontemporer erat kaitannya dengan mulai muncul istilah pembaharuan yang dipopulerkan oleh beberapa ulama modern kontemporer yang menginginkan pendekatan dan metodologi baru dalam memahami Islam. Persepsi para pembaharu memandang bahwa pemahaman Al Quran yang terkesan jalan di tempat. Alih alih mereka memandang bahwa metodologi klasik telah menghilangkan ciri khas Al-Quran sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.
Sebut saja Ali Harb misalnya (untuk tidak menyebut semuanya). Ia menyarankan pembacaan kritis pada tafsir AlQuran. Menurutnya, pembacaan kritis itu adalah pembacaan atas teks Al-Quran yang selama ini tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca itu.6 Lalu Nashr Hamid Abu Zayd menyebut Al-Quran sebagai produk budaya, yakni teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh, selama lebih dari dua puluh tahun dan ditulis dengan berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut.7
Keuniversalan petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran itu dapat dirumuskan dengan selalu mengasumsikan dan mempertimbangkan kondisi sosio-historis yang muncul ketika itu, lalu diusahan dikontekstualkan dengan kondisi kekinian. Syahrur pernah mengkritik bahwa idealnya tafsir harus merupakan kajian ilmiah yang objektif atas teks suci keagamaan (al-Nash al-Qudsy). Makanya ia tidak boleh dilandasi oleh kepentingan-kepentingan tendensius, sebab hal itu akan menjerumuskan seseorang pada kearagu-raguan dan menyebabkan hilangnya nilai objektifitas penafsiran.8
Fazlur Rahman misalnya menggagas metode tematikkontekstual. Menurut Rahman, ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dipahami hanya secara literal saja, sebagaimana yang dipahami oleh para penafsir klasik. Menurutnya, memahami Al-Quran dengan cara mengambil makna harfiahnya saja bukan hanya akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang diberikan AlQuran, melainkan hal itu juga merupakan upaya pemaksaan terhadap ayat-ayat Al-Quran itu sedangkan sendiri. Menurut Fazlur Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan Al-Quran kepada umat manusia bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiah itu sendiri, melainkan ideal moral yang ada di balik ungkapan literal tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran harus dipahami dari sisi pesan moral dan maqashid asy-syari'ah-nya.
Guna menemukan pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, Fazlur Rahman kemudian mengusulkan tentang urgensi pada pengkajian situasi dan kondisi historis yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Quran, baik berupa asbab an-nuzul maupun situasi sosial, politik, ekenomi, budaya, dan juga peradaban masyarakat saat Al-Quran diturunkan. Bagi Fazlur Rahman, ayat-ayat Al-Quran adalah pernyataan moral, religius, dan sosial Tuhan untuk merespons apa yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam ayat-ayat itulah terdapat apa yang oleh Rahman disebut ideal moral, yang pada giliran selanjutnya ideal moral inilah yang harus dijadikan acuan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Menurut Mustaqim, dengan memakai pendekatan hermeneutika model Emilio Betti, Rahman menawarkan hermeneutika double movement, yakni model penafsiran Al-Quran yang ditempuh melalui gerak ganda: bergerak dari situasi sekarang menuju ke masa di mana Al-Quran diturunkan untuk kemudian ditarik kembali ke masa kini.
Selaras dengan itu, kajian tentang Al-Quran dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menye-garkan kembali kajian sebelumnya, yang di anggap sudah out of date. 9 Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Al-Quran dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.10
Daftar Pustaka:
1. John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003)., 143.
2. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003).
3. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi: Sulton Thaha Press, 2007).
4. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1998).
5Rosihon Anwar, Samudra Al-Qur'an (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
6. Ali Harb, Naqd an-Nashsh, (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 1995), hlm. 204-205.
7. Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash: Dirasat fi 'Ulum Al-Quran, (Kairo: alHay'ah al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, 1993), hlm. 27-28.
8. Syahrur, al-Kitab wa al-Qur,an; Qiraah Mu'ashiroh (Damaskus: Ahali li alNasyr wa al-awzi 1992 hal 30.
9. Nurcholish Setiawan, “Al-Qur`an Dalam Kesejarahan Klasik & Kontemporer,” Jurnal Study Al-Qur‟an, (2006), 93.
10. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer, 58.
Alamat link terkait :Pengertian Tafsir Kontemporer dan Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer
0 Response to "Pengertian Tafsir Kontemporer dan Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer"
Posting Komentar