Pentingnya Militansi dan Loyalitas dalam Membangun Ekonomi Ummat
Gaung aksi-aksi umat Islam sejak Aksi Bela Islam 1, 2 sampai Aksi Bela Islam 3 masih terasa sampai sekarang. Euforia yang sangat indah, membuat hati ini sedikit berbangga, bahwa ternyata umat Islam masih memiliki kekuatan, meski hanya terlihat dalam moment-moment seperti itu saja. Lewat sebulan kemudian bahkan dua bulan, kegempitaannya mulai terasa memudar seiring perjalanan waktu yang membuat kita tenggelam dalam rutinitas yang membuat kita terbelenggu. Mungkin sempat terlintas pertanyaan dalam benak kita, setelah aks-aksi itu lalu apa? Atau “ngapain”? Apalagi bagi sebagian peserta aksi yang tidak terlibat langsung dengan GNPF MUI, pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap kali terlintas karena tidak tahu gerakan-gerakan yang kemudian dilakukan oleh GNPF MUI.
Sebagian masyarakat ada yang kemudian terlibat dalam komunitas-komunitas turunan dari Aksi Bela Islam seperti Koperasi Syari’ah 212 yang merupakan gerakan lanjutan dari GNPF MUI, namun mayoritas masyarakat masih ada dalam lingkup ‘kegalauan’ yang sama dengan pertanyaan besar…What next? Apa selanjutnya?
Adalah sesuatu hal yang sangat disayangkan kalau kemudian kita membiarkan semangat Aksi-Aksi Bela Islam itu memudar seiring waktu. Padahal, musuh-musuh Islam di depan kita semakin menjadi-jadi, dengan berbagai kekuatannya, trik-triknya yang menghalalkan segala cara, diantaranya adalah kekuatan mereka dalam menguasai perekonomian negara. Mereka ibarat lintah yang kehausan memeras pundi-pundi umat Islam mengingat Indonesia merupakan emerging market bagi produk-produk mereka. Apalagi budaya konsumerisme sudah menjadi gaya hidup di negara yang mayoritas muslim ini.
Tidak bisa dipungkiri sejak kita bangun tidur di pagi hari sampai kita menutup mata di malam hari, kita tidak berlepas dari produk-produk mereka, produk yang dihasilkan para gurita ekonomi yang setiap hari justru kitalah yang membuat mereka kaya. Bagaimana tidak bangun tidur gosok gigi menggunakan pasta gigi produk mereka, mandi pagi menggunakan sabun dan shampoo produk mereka. Selesai mandi, kita sarapan nasi goreng dengan kecap produk mereka, masih banyak lagi produk-produk mereka yang membuktikan bahwa kitalah yang telah membuat mereka kaya.
Saat kita bersilaturahmi dengan teman atau sahabat pasti bertemu di cafe-cafe kopi milik mereka yang mendukung LGBT, atau di tempat-tempat makan siap saji milik mereka, karena alasan lebih bergengsi, dan gaul. Dalam memilih pakaian pun, kita lebih suka mengenakan pakaian branded import yang harganya jutaan rupiah hanya untuk gaya hidup glamour belaka bukan untuk berniat ibadah kepada Allah.
Memboikot produk mereka jangan sampai hanya wacana, dan kampanye belaka mengingat susahnya mencari produk-produk ummat sebagai subtitusi barang-barang tersebut. Jika ummat sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tentu upaya boikot produk-produk yang berafiliasi kepada kekuatan terorisme Internasional dengan mendukung penjajahan zionis Israrel di Palestina akan terealisasi dan kita akan membuat bangkrut ekonomi mereka.
Perasaan sakit hati pasti berkecamuk dalam benak kita. Bagaimana tidak sakit hati jumlah mereka yang sedikit, tapi justru mereka memiliki persentasi asset kekayaan yang berlipat-lipat dalam skala nasional. Alangkah timpangnya tingkat kemakmuran di negara kita.
Menurut Bank Dunia, selama 15 tahun Indonesia memiliki tingkat kemajuan ekonomi yang pesat, akan tetapi kemajuan perekonomian tersebut hanya dirasakan oleh penduduk Indonesia yang kaya raya sekitar 20%, sedangkan 80% sisanya tidak merasakan kemajuan perekonomian tersebut, dengan kata lain tetap miskin dengan tingkat perekonomian jalan di tempat.
Bicara tentang perekonomian Negara memang membuat pusing pikiran kita, hanya kemarahan dan kedongkolan tanpa ada solusi atau jalan keluar yang bisa kita lakukan. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar kita berubah, agar kita tidak menjadi golongan miskin dengan jumlah yang besar yang justru malah membuat kaya para lintah darat.
Para gurita yang selalu haus “fulus”, tak berhenti memeras rakyat kecil dengan balutan kamuflase gaya hidup hedonisme. Sehingga mau tidak mau merubah gaya hidup mayoritas masyarakat digiring menjadi konsumerisme.
Itulah fakta yang ada di hadapan kita selama ini. Apakah ada tindakan nyata atau “real action” yang bisa kita lakukan? Jawabannya…ada. Inilah yang dinamakan Militansi Ekonomi. Seperti apakah kongkritnya Militansi Ekonomi? Militansi Ekonomi, ternyata sudah dilakukan oleh para ulama-ulama kita terdahulu. Konon, ulama dahulu enggan menggunakan terompah atau sandal buatan India, karena mayoritas di India beragama Hindu, jelas produk non muslim.
Inilah esensi dari Militansi dan Loyalitas Ekonomi, yaitu kita harus memprioritaskan segala macam kegiatan perekonomian yang kita lakukan dengan sesama muslim. Artinya, kalau selama kita merasa lebih gaya berbelanja ke mall-mall atau swalayan, sekarang saatnya kita mengubah paradigma tersebut menjadi moto baru bahwa lebih baik belanja kepada tetangga kita yang muslim.
Kalau selama ini kita menggunakan produk-produk yang dibuat oleh mereka yang non muslim, sedikit banyak mulai sekarang kita hentikan penggunaannya. Kalaupun tidak bisa berhenti karena tidak ada alternatif pengganti untuk produk tersebut, minimal kita kurangi.
Ada sebuah cerita tentang orang Yahudi yang masuk ke hotel mewah, ketika dia check out dia meminta untuk dipesankan taksi kepada pegawai hotel. Tidak lama berselang, datanglah taksi yang dipesan tersebut. Setelah berbincang-bincang sebentar antara sopir taksi dan orang Yahudi yang memesan taksi, ternyata dia tidak mau menggunakan taksi tersebut, bahkan orang Yahudi itu meminta untuk dipesankan kembali taxi baru.
Meskipun kesal, mau tidak mau pegawai hotel memesankan kembali taksi baru dengan harapan taksi berikutnya sesuai dengan keinginan Yahudi. Namun kejadian yag sama ternyata kembali terulang, setelah berbincang-bincang antara sopir taksi dan Yahudi, taksi kedua pun ditolaknyai. Kejadian itu terus berlanjut, sampai taksi kelima Saking kesalnya pegawai hotel tersebut menggerutu kepada Yahudi.
“Bapak ini sebenarnya cari apa sih? Cari taksi atau cari apa?”
Ditanya seperti itu Yahudi malah balik membentak,”Nggak usah tanya-tanya pesankan lagi saja, kalau tidak mau nanti saya laporkan kepada atasan kamu bahwa kamu tidak mau melayani customer.”
Meski dongkol, pegawai hotel itu memesankan kembali taksi, dan ternyata masih ditolak oleh Yahudi itu berkali-kali. Sampai pada pesanan taksi ke-10, setelah berbincang-bincang antara Yahudi dan sopir taksi, akhirnya Yahudi itu menggunakan taksi tersebut.
Penasaran dengan kejadian itu, pegawai hotel bertanya kepada Yahudi tentang perbedaan antara taksi ke-10 dengan taksi-taksi sebelumnya. Orang Yahudi itu menjawab bahwa dari sekian banyak taksi yang telah dipesan, hanya taksi ke-10 lah yang sama-sama orang Yahudi.
Ini sekedar ilustrasi bahwa mereka Yahudi memiliki loyalitas yang tinggi terhadap sesamanya. Bayangkan, dia rela menunggu sampai taksi ke-10 untuk menunjukkan loyalitasnya sebagai seorang Yahudi. Hal-hal seperti inilah yang mungkin membuat mereka mampu menguasai dunia.
Lalu bagaimana dengan kita? Perilaku Yahudi tentunya tak perlu kita tiru seperti itu, akan tetapi jiwa militansi dan loyalitas yang lebih memprioritaskan muslim dibanding yang lainnya perlu ditumbuhkan dengan niat ingin mensejahterakan kehidupan sesama muslim dan menguatkan perekonomian muslim.
Ketika perekonomian muslim maju secara mikro diharapkan pula akan tumbuh menjadi kekuatan perekonomian secara makro. Karena itulah, sudah waktunya kita tumbuhkan jiwa militansi kita dalam perekonomian.
Kita mulai memilah dan memilih warung mana yang akan kita beli, produk mana yang akan kita gunakan, jasa siapa yang akan kita pakai. Sepertinya hal ini sepele, tapi jika dilakukan oleh semua muslim, pasti akan terasa dampaknya. Tidak akan ada lagi warung-warung kecil yang bangkrut karena kalah bersaing dengan minimart-minimart yang menjamur sampai ke pelosok. Selain itu pula akan menumbuhkan jiwa-jiwa kreatif yang mampu menciptakan produk-produk muslim sebagai alternatif pengganti produk-produk non muslim yang kita tinggalkan. Lambat-laun, perekonomian muslim akan maju dengan sendirinya, karena saling mendukung, saling memajukan, saling membantu dan saling mensejahterakan. Bukankah itu salah satu makna dari silaturahmi?
Memperlakukan medan perjuangan ekonomi Islam layaknya medan jihad menjadi cukup beralasan saat ini. Dengan segala bentuk variasi dan intensitas tantangannya, perjuangan menghidupkan ekonomi Islam adalah sebuah keniscayaan untuk kondisi umat Islam di Indonesia saat ini. Musuh utama dalam militansi ekonomi ini tentu saja adalah nafsu berupa keserakahan dan kekikiran. Sementara ajaran materialistik, individualistik dan konsumeristik harus dihapus dari paradigma berpikir semua pejuang ekonomi Islam. Karena ajaran itu menjadi simbol-simbol keserakahan dan kekikiran ekonomi. Butuh kesungguhan, tekad, motivasi dan usaha yang keras untuk dapat mengikis keserakahan dan kekikiran dalam prilaku.
Militansi dan Loyalitas Ekonomi melalui disiplin perilaku ekonomi yang Islami ini akan berujung pada kesantunan dan kesahajaan ekonomi. Keluhuran budi akan menjadi nilai yang diusung oleh ekonomi, inilah yang merupakan esensi dari perjuangan ekonomi Islam. Kita harus yakin bahwa kita akan sanggup mewujudkan ekonomi seperti ini. Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan pejuang-pejuang yang bersedia mengorbankan kenikmatan-kenikmatan dunianya, untuk kemudian fokus terhadap pembangunan sistem perekonomian umat, Mari kita sama-sama bersiap untuk membangun Militansi Ekonomi dalam setiap pribadi, sebagai perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.
Alamat link terkait :Pentingnya Militansi dan Loyalitas dalam Membangun Ekonomi Ummat
0 Response to "Pentingnya Militansi dan Loyalitas dalam Membangun Ekonomi Ummat"
Posting Komentar